Selasa, 28 Agustus 2012

Dunia Penerbangan Indonesia

Tagged Under : , , , ,

FS-2012-jul-10-001
Finally, Sriwijaya Air adds their fleet with Boeing 737-800NG. This may signs the phasing out of their old classic series, and also the transformation process to operate full service airline. The first aircraft arrived on April 22nd, 2012 with registration PK-CLA. With Midwest Airline livery as a previous operator, PK-CLA repainted with a new Sriwijaya livery and ready to serve with 8 business class seats and 168 economy class seats configuration. This year (2012) Sriwijaya plans 6(six) of Boeing 737-800NG delivery — All in Leased status — and Sriwijaya also agreed to purchase about 20 units of Boeing 737-800NG that will arrive on 2015. Not only the aircraft livery, Sriwijaya also change their Flight Attendant uniforms…hmm..it’s not included in my repaint here..:D
For additional information Sriwijaya Air also planned to add their fleet with Embraer E190 for regional flight and Boeing 737-500W. Way to go!
Have a nice flight captains! feel free heading to Download page
Sponsored Links: (www.stevenairspace.com)

http://c.indoflyer.net/39773
Merpati Nusantara Sewa Boeing 737-800
Indoflyer, 8/28/2012 7:19:14 AM
 


Jakarta - Merpati Nusantara akan menyewa delapan unit Boeing 737-800 sebagai bagian dari ekspansi armadanya. Pesawat tersebut akan datang pada tahun ini setelah nota kesepahaman ditandatangani kemarin (27/8). Biaya sewa pesawat ini mencapai US$300,000/bulan dengan jangka waktu sewa selama lima tahun.
 
Rencana ini merupakan bagian dari regenerasi armada Merpati untuk menggantikan Boeing 737 seri klasik. Selain itu Merpati telah memesan sebanyak 20 unit Casa NC-212 dari PT. Dirgantara Indonesia (PT.DI) dengan harga pembelian per unitnya sebesar US$10 juta dengan diperkirakan akan terealisasi tahun depan. (SS)
 
 
Jakarta - Tiga maskapai yaitu Citilink, Batavia Air dan Sriwijaya Air memberi ganti rugi keterlambatan kepada penumpang. Maskapai Citilink membayar denda keterlambatan sebesar Rp.93.6 juta kepada 117 penumpangnya pada rute Surabaya-Jakarta pada hari Minggu (6/5).
 
Denda ini meliputi biaya ganti rugi hotel dan ganti rugi dari maskapai karena Flight GA018 yang direncanakan terbang pada pukul 19.40 WIB, pesawat dari Jakarta baru tiba sejam kemudian. Saat itu Bandara Juanda telah berhenti beroperasi sehingga penumpang baru dapat diterbangkan esok harinya (7/5).
 
Sebelumnya Sriwijaya Air telah memberikan denda keterlambatan secara langsung kepada penumpang jurusan Balikpapan-Jakarta pada bulan Februari. Keterlambatan selama 4 jam ini disebabkan kerusakan pada mesin pesawat.
 
Sedangkan Batavia Air dikenakan sanksi pemberian kompensasi dana tunai akibat delay lebih dari empat jam untuk rute Palangkaraya-Surabaya. Total biaya yang dikeluarkan Batavia adalah Rp.42 juta atau Rp.300,000 per penumpang. Flight Y6374 yang membawa 136 penumpang dewasa, 4 anak, dan 4 bayi yang dijadwalkan terbang pukul 16.35 WITA tanggal 2 Januari 2012, terlambat karena sebab operasional.
 
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan No.92 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut yang berlaku sejak 1 Januari 2012, maskapai penerbangan yang mengalami keterlambatan lebih dari empat jam wajib memberikan ganti rugi sebesar Rp.300,000 per penumpang. (Sudiro Sumbodo)
 
 
 
Avtur Naik, Batavia Tunda Rute Ke Tokyo
Indoflyer, 4/23/2012 7:40:14 AM
 


Jakarta - Batavia Air memutuskan menunda melayani rute ke Tokyo karena harga avtur yang naik. Rencananya Batavia akan melayani rute Bandara Ngurah Rai, Bali menuju Bandara Haneda, Tokyo pada akhir April.   
 
Menurut Direktur Komersial Batavia Air, Sukirno Sukma, harga avtur yang terus naik membuat maskapainya kembali menimbang rencana rute baru ini. Dengan harga yang mencapai US$105/liter, Batavia Air sedang menghitung kembali apakah bisa menutup biaya operasionalnya.
 
Biaya avtur merupakan komponen terbesar dalam industri penerbangan selain perawatan yang mencapai 30%-40% dari operasional rutin. Kemungkinan Batavia Air akan merealisasikan rute ke Tokyo pada Oktober 2012. (Sudiro Sumbodo)
 

Apa Sebab Mandala Terpuruk?
Indoflyer, 2/15/2011 12:27:06 PM
 


Bertolak belakang dengan maskapai Garuda Indonesia, nasib yang berbeda dialami oleh Mandala Airlines. Maskapai dengan sejarah panjang selama empat dekade ini, pada 13 Januari 2011 menghentikan operasionalnya karena masalah finansial.

“Dalam beberapa bulan terakhir, Mandala Airlines mengalami kerugian bisnis dan situasi saat ini mengharuskan kami untuk melakukan restrukturisasi perusahaan sehingga dapat memberi ruang bagi masuknya investor baru.” Ungkap Presiden Direktur Mandala Airlines, Diono Nurjadin.

Mandala memiliki waktu 45 hari untuk restrukturisasi semenjak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merestui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (17/1). Restrukturisasi ini membuka peluang masuknya investor baru. Diakuinya saat ini ada beberapa investor yang tertarik menanamkan modalnya ke Mandala. “Pemegang saham saat ini (Cardig dan Indigo) akan memberikan penawaran terbaik.” Jawabnya saat ditanya akan kemungkinan terjadinya delusi saham.

Kabar penghentian operasional sementara Mandala ini terasa ironis, mengingat prestasi yang diraih Mandala dalam kurun dua tahun terakhir terlihat impresif. Mandala menjadi satu-satunya maskapai swasta di Indonesia yang lolos larangan terbang Uni Eropa pada Juli 2009 dan mendapatkan sertifikat IATA Operational Safety Audit (IOSA) dari International Air Transport Association (IATA) pada Maret 2010. Jumlah penumpang pun melonjak dari 1.700 hingga 3.400, atau sekitar 99% pada tahun 2007-2008. Mandala membuktikan bahwa masih ada maskapai yang mengutamakan keselamatan, namun lebih murah.

Momentum yang didapat oleh Mandala tersebut ternyata berujung antiklimaks. “Bibit-bibit kemunduran mulai tersemi sepuluh tahun lalu manakala manajemen Cardig (saat itu pemilik 100% saham) memutuskan mempertahankan karyawan warisan pemilik lama (Kostrad),” ungkap Donnie Armand, Manager Airline Strategy dari konsultan TASC Aviation. Jumlah karyawan waktu itu sekitar 1600-an. “Perbandingan jumlah karyawan dan maskapai yang dimiliki ternyata tidak bisa menutupi turnaround cost. “ ungkap konsultan penerbangan independen, Gerry Soejatman.

Kepergian Warwick Brady secara tiba-tiba dari struktur perusahaan di akhir 2009 juga mengindikasikan ada perbedaan pendapat di tubuh Mandala. Brady memiliki konsep Mandala sebagai Value Added Carrier, konsep yang dipakai LCC (Low Cost Carrier) modern seperti Easy Jet. Sementara Indigo yang dikenal sebagai spesialis LCC (Indigo memiliki saham beberapa maskapai LCC seperti Tiger Airways, Whizz Air, Abnanova, dan Spirit), menginginkan konsep full LCC seperti maskapai AirAsia.

Gerry Soejatman menilai cost control yang buruk dan perbedaan prinsip antar pemegang saham menjadi faktor utama terpuruknya Mandala. “Kalau Mandala ingin selamat, mereka harus menyelesaikan konflik internal ini,” Tegasnya. “Entah salah satunya mengalah, atau malah mundur sekalian,” imbuhnya. Sebab tidak mungkin jika Cardig sebagai pemegang saham mayoritas melepas sebagian sahamnya, karena otomatis Indigo akan menjadi pemegang saham mayoritas. Hal ini bertentangan dengan aturan pemerintah yang melarang perusahaan asing sebagai pemegang saham mayoritas.

Sementara Donnie Armand berpendapat, “Kasus Mandala ini bisa dicegah jika regulator (pemerintah) memberlakukan aturan tegas kepada maskapai untuk memberi laporan keuangan secara berkala.” Aturan maskapai menyerahkan laporan keuangan berkala ini baru mulai diterapkan pemerintah melalui Departemen Perhubungan pertengahan tahun 2009 lalu, melalui Undang Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.(RM)
 
 
Mandala Prioritaskan Rute Regional
Indoflyer, 5/7/2012 12:26:06 PM
 


Jakarta - Pada tahun ini, Mandala Airlines memprioritaskan membuka rute regional/internasional daripada rute domestik. Saat ini Mandala melayani rute Jakarta-Medan, diikuti rute regional/internasional Medan-Singapura, dan Jumat lalu (4/5) membuka rute Jakarta-Kuala Lumpur 14 x per minggu.
 
Alasan membuat keputusan ini karena persaingan di rute regional/internasional untuk maskapai low cost carrier belum seketat di rute domestik apalagi banyak diantara maskapai telah memiliki armada yang cukup banyak sedangkan Mandala baru memiliki tiga unit Airbus A320. Alasan lainnya adalah promosi penjualan tiket ke luar negeri yang lebih mudah karena bermitra dengan Tiger Airways yang sudah dikenal di kawasan Asia.
 
Dengan tiga rute yang dimilikinya, Mandala mentargetkan tingkat keterisian  penumpang mencapai 80-84%. Mandala juga berkeinginan membuka rute regional/internasional dengan syarat penerbangan itu hanya memakan waktu 4-5 jam, seperti rute ke Hongkong atau India. Rencana berikutnya Mandala akan segera menambah armadanya sebanyak tujuh unit A320 yang akan datang pada tahun ini juga. (Sudiro Sumbodo)
 
 
Cita-cita mulia demi mewujudkan industri penerbangan yang tidak tergantung pada bahan bakar fosil bukan perkara mudah. Tapi dengan kerja keras hal ini dapat terwujud dimasa depan. Bagaimana dengan industri penerbangan di Indonesia ?
 
Industri penerbangan menggunakan derivatif hasil dari penyulingan minyak bumi berupa Jet-A atau yang lebih dikenal sebagai avigas/avtur buat bahan bakar pesawat terbang. Pertamina Aviation, anak perusahaan dari Pertamina menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan avtur di Indonesia. Tahun 2008 industri penerbangan, tidak terkecuali penerbangan nasional mendapat pukulan hebat saat krisis minyak dunia.

Saat krisis, harga minyak melambung melampaui rekor mencapai angka diatas $100 lebih per liter. Di Indonesia perkembangan harga avtur dari Pertamina Aviation bergantung kepada harga minyak dunia dan kurs US Dollar terhadap rupiah plus biaya lain seperti PPN, biaya transport, dan margin keuntungan.
 
Kisaran harga bulan Mei-April 2008 menunjukan variasi puncak harga bahan bakar di bandara-bandara wilayah Indonesia sebesar Rp.9,548-10,219 per liter. Padahal sebuah pesawat narrow body sekelas Boeing 737 membutuhkan setidaknya 18,000-20,000 liter sekali terbang.

Kebijakan fuel surcharge yang ditetapkan Departemen Perhubungan (Dephub) hanya sekedar “gali lubang tutup lubang” mengingat harga tiket yang ditetapkan maskapai adalah harga sebelum kenaikan harga minyak, tidak terlalu banyak berpengaruh menyelesaikan masalah. Beruntung situasi mulai pulih akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009. Beruntung pula tidak ada maskapai nasional yang gulung tikar, padahal di dunia sudah banyak maskapai yang kolaps.

Bahan Bakar Alternatif

Menghadapi ketergantungan terhadap minyak bumi, pemerintah, maskapai, pabrik pesawat, lembaga riset bahkan dari perusahaan minyak telah bekerjasama membuat bahan bakar alternatif. IATA (International Air Transport Association) mensyaratkan bahwa bahan bakar pengganti avtur harus berkualitas sama (atau bahkan lebih) dan dengan pemakaian sama praktisnya dimana tidak perlu sampai mengubah rancangan pesawat atau tempat penyimpanan bahan bakar.

Gas alam menjadi solusi. Produk GTL (Gas To Liquid) buatan Shell sudah diujicoba walaupun masih berupa campuran 40-60 dengan avtur pada tes salah satu mesin Airbus A380 Super Jumbo awal tahun 2008 dan campuran 50-50 pada penerbangan Airbus A340 maskapai Qatar selama 6 jam, dari London ke Doha, bulan Februari setahun kemudian.
 
 
Siklus Biofuel 
Siklus Biofuel – Tanaman biofuel menghasilkan hidrokarbon (A) dipanen lalu oleh pabrik penyulingan dihasilkan bahan bakar biofuel (B). Biofuel dipakai buat pesawat terbang (C) yang menghasilkan hasil pembakaran berupa CO2. CO2 (plus air) dengan bantuan matahari diproses secara fotosintesis oleh tanaman biofuel yang menghasilkan hidrokarbon (D). Siklus kembali berputar.

Solusi lainnya adalah biofuel atau bahan bakar dari tanaman. Bukan hal yang baru apalagi saat penjajahan Jepang dulu, rakyat Indonesia dipaksa menanam jarak di pekarangan rumah yang diproses menjadi bahan bakar pesawat terbang buat kepentingan perang. Sekarang jarak (jatropha) diujicoba pada Boeing 767 Air New Zealand akhir Desember 2008.
 
Selain itu, tanggal 8 Januari 2009 Continental Airlines dengan pesawat Boeing 737-800 menguji terbang biofuel yang berasal dari kombinasi algae (ganggang) dan jarak. Maskapai yang baru-baru ini menyatakan bangkrut, Japan Airlines (JAL) sempat menguji coba biofuel campuran tanaman camelina (sebangsa rerumputan), algae, dan jarak pada salah satu mesin Boeing 747 akhir Januari 2008.

Seluruh pengujian ini sama-sama mendapatkan hasil yang baik, emisi polusi rendah, tanpa perlu modifikasi apapun dengan performa mesin tidak berpengaruh. Uji coba memang belum memakai 100% biofuel tapi hanya 50-50 dengan campuran avtur. Tapi ini membuktikan kepraktisan. Sebuah pesawat yang terbang menggunakan avtur tidak perlu repot membuang/menguras tangki bahan bakarnya jika bandara tujuan hanya menyediakan biofuel atau sebaliknya.

Industri Penerbangan Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia ? Meskipun Pertamina bekerja sama dengan swasta telah membuat proyek pembuatan bahan bakar alternatif seperti pengolahan etanol menjadi DimethylEter (DME), hanya ditujukan sebagai bahan bakar kendaraan dan kebutuhan rumah tangga. Belum ada satupun realisasi buat sektor industri penerbangan.

Padahal kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi udara sangat besar seiring dengan peningkatan pemakai jasa udara baik penerbangan domestik maupun internasional. Angka dari INACA (Indonesia National Air Carrier) menunjukan perkiraan peningkatan jumlah penumpang sebesar 9% tahun ini.
 
Tahun lalu saja anggota INACA mengangkut total 37.5 juta penumpang. Angka dari Dephub tidak terlalu jauh berbeda, kenaikan 10% dengan rincian 43.5 juta penumpang domestik dan 4.95 juta penumpang internasional tahun 2009. Situasi baru saja pulih dari krisis minyak tapi ini bisa saja kembali goncang jika krisis kembali terjadi. Pertamina lewat Pertamina Aviation seyogyanya bisa memulai aplikasi bahan bakar alternatif buat industri penerbangan nasional.

Sebenarnya apa yang kurang dari Indonesia ? Kaya akan gas alam dan tanah yang subur buat pertanian penghasil biofuel. Pertamina bisa mencontoh Shell dengan membuat GTL yang disuling pada kilang Shell di Malaysia. Diakui pembuatan GTL dengan metode Fischer Tropsceh bukan sesuatu yang mudah dan butuh investasi besar tapi ini bisa dimulai dengan kerjasama saling menguntungkan antar dua perusahaan.

Kerjasama antar perusahaan dalam negeri juga perlu dilakukan seperti Pertamina Aviation dengan maskapai milik pemerintah Garuda Indonesia misalnya. Maskapai Virgin Atlantic patut dijadikan contoh pula bahwa maskapai bisa menjadi pionir dalam pengembangan bahan bakar alternatif.
 
Pemilik dan pendiri Virgin Atlantic, Sir Richard Branson bahkan mendirikan perusahaan baru yaitu Virgin Fuel, membuat bahan bakar dari minyak babassu, tanaman masih berfamili kelapa yang banyak tumbuh di Brazil. Walaupun hanya berkomposisi 20% dengan dicampur avtur tapi sukses pada uji coba penerbangan Boeing 747 miliknya awal tahun 2008.

Jangan lupa melibatkan pihak kampus. IPB sebagai kampus yang berbasis pertanian dapat meriset lebih lanjut pemanfaatan tanaman lain, tidak sebatas jarak dan minyak kelapa karena setiap tanaman secara garis besar dapat menghasilkan hidrokarbon. Tidak ketinggalan peran kampus berbasis teknologi seperti ITB, ITS, dan perusahaan berbasis teknologi penerbangan seperti PT. Dirgantara Indonesia yang bisa membuat alat pengolah biofuel sekaligus membantu kelayakan penerapan bahan bakar alternatif buat pesawat terbang.

Bayangkan peran serta yang terjalin jika dapat terwujud. Betapa keuntungan akan melibatkan industri yang lain mulai dari pertanian, penyulingan, distribusi, transportasi, dan banyak lainnya. Bahkan belum terwujud sekalipun hal ini telah mendapat tentangan. Yang kontra menyatakan proses produksi bahan bakar alternatif justu lebih merusak lingkungan hidup. Seperti pembukaan hutan buat ditanami tanaman biofuel.

Yang pro justru membela bahwa ini baru tahap awal buat pengembangan selanjutnya menjadi lebih baik. Alga misalnya bisa menjadi pengembangan lebih lanjut karena tidak tergantung kepada tanah pertanian melainkan bisa memanfaatkan perairan.
 
Kiprah British Airways (BA) baru-baru ini bisa ditiru dengan memanfaatkan biomassa yang berasal dari sampah. Menurut rencana, fasilitas pengolahan biomassa milik BA dan investor asal Amerika, Solena Group akan menghasilkan 16 juta galon bahan bakar low carbon dari 500,000 ton limbah sampah organik dan makanan. Belum ada informasi lebih lanjut karena diperkirakan baru akan diproduksi tahun 2014.

Pengembangan bahan bakar pengganti avtur masih melalui jalan panjang tapi harus dimulai segera dan belum terlambat. Seandainya ini dapat terwujud bahan bakar alternatif dapat menjadi simbol kemandirian bangsa Indonesia dan membangun bukan hanya sekedar industri penerbangan melainkan sebuah impian industri penerbangan yang bertumpu dan ramah terhadap lingkungan sebagai perwujudan dari cita-cita green aviation. (Sudiro Sumbodo, Jakarta, 2010)

Referensi :
  1. Air & Space, “Fly Green”, September 2007.
  2. Kontan, “Sebelas Maskapai Siap Terbangi Langit Indonesia”, 18 Februari 2010.
  3. Suryo Suprojo, Cucuk, makalah seminar PII BKT, “Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Pesawat Udara Terhadap Perkembangan Transportasi Udara Di Indonesia”, Jakarta, 19 Mei 2008.

Internet :
  1. www.cleantech.com, “British Airways to Power Aircraft From Waste Biomass”, 17 Februari 2010.
  2. www.earth2tech.com, “Green Aviation: It’s All About Biofuels, But Get Ready to Wait”, 8 September 2009.
  3. www.iata.org, “Fact Sheet : Alternative Fuels”, Februari 2010.
  4. www.pertamina.com, “DimethylEter Sebagai Bahan Bakar Alternatif”, 2009.
  5. www.wikipedia.org, “Aviation Bio Fuel”, 19 Desember 2009
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar