Tagged Under : 737, Boeing, iFly, livery texture, sriwijaya
Finally, Sriwijaya Air adds their fleet with Boeing 737-800NG. This may signs the phasing out of their old classic series, and also the transformation process to operate full service airline. The first aircraft arrived on April 22nd, 2012 with registration PK-CLA. With Midwest Airline livery as a previous operator, PK-CLA repainted with a new Sriwijaya livery and ready to serve with 8 business class seats and 168 economy class seats configuration. This year (2012) Sriwijaya plans 6(six) of Boeing 737-800NG delivery — All in Leased status — and Sriwijaya also agreed to purchase about 20 units of Boeing 737-800NG that will arrive on 2015. Not only the aircraft livery, Sriwijaya also change their Flight Attendant uniforms…hmm..it’s not included in my repaint here..:D
For additional information Sriwijaya Air also planned to add their fleet with Embraer E190 for regional flight and Boeing 737-500W. Way to go!
Have a nice flight captains! feel free heading to Download page
Sponsored Links: (www.stevenairspace.com)
|
|||||||||||
Jakarta
- Merpati Nusantara akan menyewa delapan unit Boeing 737-800 sebagai
bagian dari ekspansi armadanya. Pesawat tersebut akan datang pada tahun
ini setelah nota kesepahaman ditandatangani kemarin (27/8). Biaya sewa
pesawat ini mencapai US$300,000/bulan dengan jangka waktu sewa selama
lima tahun.
Rencana
ini merupakan bagian dari regenerasi armada Merpati untuk menggantikan
Boeing 737 seri klasik. Selain itu Merpati telah memesan sebanyak 20
unit Casa NC-212 dari PT. Dirgantara Indonesia (PT.DI) dengan harga
pembelian per unitnya sebesar US$10 juta dengan diperkirakan akan
terealisasi tahun depan. (SS)
Jakarta -
Tiga maskapai yaitu Citilink, Batavia Air dan Sriwijaya Air memberi
ganti rugi keterlambatan kepada penumpang. Maskapai Citilink membayar
denda keterlambatan sebesar Rp.93.6 juta kepada 117 penumpangnya pada
rute Surabaya-Jakarta pada hari Minggu (6/5).
Denda
ini meliputi biaya ganti rugi hotel dan ganti rugi dari maskapai karena
Flight GA018 yang direncanakan terbang pada pukul 19.40 WIB, pesawat
dari Jakarta baru tiba sejam kemudian. Saat itu Bandara Juanda telah
berhenti beroperasi sehingga penumpang baru dapat diterbangkan esok
harinya (7/5).
Sebelumnya
Sriwijaya Air telah memberikan denda keterlambatan secara langsung
kepada penumpang jurusan Balikpapan-Jakarta pada bulan Februari.
Keterlambatan selama 4 jam ini disebabkan kerusakan pada mesin pesawat.
Sedangkan
Batavia Air dikenakan sanksi pemberian kompensasi dana tunai akibat
delay lebih dari empat jam untuk rute Palangkaraya-Surabaya. Total biaya
yang dikeluarkan Batavia adalah Rp.42 juta atau Rp.300,000 per
penumpang. Flight Y6374 yang membawa 136 penumpang dewasa, 4 anak, dan 4
bayi yang dijadwalkan terbang pukul 16.35 WITA tanggal 2 Januari 2012,
terlambat karena sebab operasional.
Menurut
Peraturan Menteri Perhubungan No.92 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab
Pengangkut yang berlaku sejak 1 Januari 2012, maskapai penerbangan yang
mengalami keterlambatan lebih dari empat jam wajib memberikan ganti rugi
sebesar Rp.300,000 per penumpang. (Sudiro Sumbodo)
|
|||||||||||
|
|
|||||||||
Bertolak belakang dengan maskapai
Garuda Indonesia, nasib yang berbeda dialami oleh Mandala Airlines.
Maskapai dengan sejarah panjang selama empat dekade ini, pada 13 Januari
2011 menghentikan operasionalnya karena masalah finansial.
“Dalam beberapa bulan terakhir, Mandala Airlines mengalami kerugian bisnis dan situasi saat ini mengharuskan kami untuk melakukan restrukturisasi perusahaan sehingga dapat memberi ruang bagi masuknya investor baru.” Ungkap Presiden Direktur Mandala Airlines, Diono Nurjadin. Mandala memiliki waktu 45 hari untuk restrukturisasi semenjak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat merestui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (17/1). Restrukturisasi ini membuka peluang masuknya investor baru. Diakuinya saat ini ada beberapa investor yang tertarik menanamkan modalnya ke Mandala. “Pemegang saham saat ini (Cardig dan Indigo) akan memberikan penawaran terbaik.” Jawabnya saat ditanya akan kemungkinan terjadinya delusi saham. Kabar penghentian operasional sementara Mandala ini terasa ironis, mengingat prestasi yang diraih Mandala dalam kurun dua tahun terakhir terlihat impresif. Mandala menjadi satu-satunya maskapai swasta di Indonesia yang lolos larangan terbang Uni Eropa pada Juli 2009 dan mendapatkan sertifikat IATA Operational Safety Audit (IOSA) dari International Air Transport Association (IATA) pada Maret 2010. Jumlah penumpang pun melonjak dari 1.700 hingga 3.400, atau sekitar 99% pada tahun 2007-2008. Mandala membuktikan bahwa masih ada maskapai yang mengutamakan keselamatan, namun lebih murah. Momentum yang didapat oleh Mandala tersebut ternyata berujung antiklimaks. “Bibit-bibit kemunduran mulai tersemi sepuluh tahun lalu manakala manajemen Cardig (saat itu pemilik 100% saham) memutuskan mempertahankan karyawan warisan pemilik lama (Kostrad),” ungkap Donnie Armand, Manager Airline Strategy dari konsultan TASC Aviation. Jumlah karyawan waktu itu sekitar 1600-an. “Perbandingan jumlah karyawan dan maskapai yang dimiliki ternyata tidak bisa menutupi turnaround cost. “ ungkap konsultan penerbangan independen, Gerry Soejatman. Kepergian Warwick Brady secara tiba-tiba dari struktur perusahaan di akhir 2009 juga mengindikasikan ada perbedaan pendapat di tubuh Mandala. Brady memiliki konsep Mandala sebagai Value Added Carrier, konsep yang dipakai LCC (Low Cost Carrier) modern seperti Easy Jet. Sementara Indigo yang dikenal sebagai spesialis LCC (Indigo memiliki saham beberapa maskapai LCC seperti Tiger Airways, Whizz Air, Abnanova, dan Spirit), menginginkan konsep full LCC seperti maskapai AirAsia. Gerry Soejatman menilai cost control yang buruk dan perbedaan prinsip antar pemegang saham menjadi faktor utama terpuruknya Mandala. “Kalau Mandala ingin selamat, mereka harus menyelesaikan konflik internal ini,” Tegasnya. “Entah salah satunya mengalah, atau malah mundur sekalian,” imbuhnya. Sebab tidak mungkin jika Cardig sebagai pemegang saham mayoritas melepas sebagian sahamnya, karena otomatis Indigo akan menjadi pemegang saham mayoritas. Hal ini bertentangan dengan aturan pemerintah yang melarang perusahaan asing sebagai pemegang saham mayoritas. Sementara Donnie Armand berpendapat, “Kasus Mandala ini bisa dicegah jika regulator (pemerintah) memberlakukan aturan tegas kepada maskapai untuk memberi laporan keuangan secara berkala.” Aturan maskapai menyerahkan laporan keuangan berkala ini baru mulai diterapkan pemerintah melalui Departemen Perhubungan pertengahan tahun 2009 lalu, melalui Undang Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.(RM)
|
|||||||||
Cita-cita
mulia demi mewujudkan industri penerbangan yang tidak tergantung pada
bahan bakar fosil bukan perkara mudah. Tapi dengan kerja keras hal ini
dapat terwujud dimasa depan. Bagaimana dengan industri penerbangan di Indonesia ?
Industri
penerbangan menggunakan derivatif hasil dari penyulingan minyak bumi
berupa Jet-A atau yang lebih dikenal sebagai avigas/avtur buat bahan
bakar pesawat terbang. Pertamina Aviation, anak perusahaan dari
Pertamina menjadi satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam
pengadaan avtur di Indonesia. Tahun 2008 industri penerbangan, tidak
terkecuali penerbangan nasional mendapat pukulan hebat saat krisis
minyak dunia.
Saat
krisis, harga minyak melambung melampaui rekor mencapai angka diatas
$100 lebih per liter. Di Indonesia perkembangan harga avtur dari
Pertamina Aviation bergantung kepada harga minyak dunia dan kurs US
Dollar terhadap rupiah plus biaya lain seperti PPN, biaya transport, dan
margin keuntungan.
Kisaran harga bulan Mei-April 2008 menunjukan variasi puncak harga bahan bakar di bandara-bandara wilayah Indonesia sebesar Rp.9,548-10,219 per liter. Padahal sebuah pesawat narrow body sekelas Boeing 737 membutuhkan setidaknya 18,000-20,000 liter sekali terbang.
Kebijakan fuel surcharge
yang ditetapkan Departemen Perhubungan (Dephub) hanya sekedar “gali
lubang tutup lubang” mengingat harga tiket yang ditetapkan maskapai
adalah harga sebelum kenaikan harga minyak, tidak terlalu banyak
berpengaruh menyelesaikan masalah. Beruntung situasi mulai pulih akhir
tahun 2008 dan awal tahun 2009. Beruntung pula tidak ada maskapai
nasional yang gulung tikar, padahal di dunia sudah banyak maskapai yang
kolaps.
Bahan Bakar Alternatif
Menghadapi
ketergantungan terhadap minyak bumi, pemerintah, maskapai, pabrik
pesawat, lembaga riset bahkan dari perusahaan minyak telah bekerjasama
membuat bahan bakar alternatif. IATA (International Air Transport Association)
mensyaratkan bahwa bahan bakar pengganti avtur harus berkualitas sama
(atau bahkan lebih) dan dengan pemakaian sama praktisnya dimana tidak
perlu sampai mengubah rancangan pesawat atau tempat penyimpanan bahan
bakar.
Gas
alam menjadi solusi. Produk GTL (Gas To Liquid) buatan Shell sudah
diujicoba walaupun masih berupa campuran 40-60 dengan avtur pada tes
salah satu mesin Airbus A380 Super Jumbo awal tahun 2008 dan campuran
50-50 pada penerbangan Airbus A340 maskapai Qatar selama 6 jam, dari
London ke Doha, bulan Februari setahun kemudian.
Siklus Biofuel
– Tanaman biofuel menghasilkan hidrokarbon (A) dipanen lalu oleh pabrik
penyulingan dihasilkan bahan bakar biofuel (B). Biofuel dipakai buat
pesawat terbang (C) yang menghasilkan hasil pembakaran berupa CO2. CO2
(plus air) dengan bantuan matahari diproses secara fotosintesis oleh
tanaman biofuel yang menghasilkan hidrokarbon (D). Siklus kembali
berputar.
Solusi lainnya adalah biofuel atau bahan bakar dari tanaman. Bukan hal yang baru apalagi saat penjajahan Jepang dulu, rakyat Indonesia
dipaksa menanam jarak di pekarangan rumah yang diproses menjadi bahan
bakar pesawat terbang buat kepentingan perang. Sekarang jarak (jatropha)
diujicoba pada Boeing 767 Air New Zealand akhir Desember 2008.
Selain
itu, tanggal 8 Januari 2009 Continental Airlines dengan pesawat Boeing
737-800 menguji terbang biofuel yang berasal dari kombinasi algae
(ganggang) dan jarak. Maskapai yang baru-baru ini menyatakan bangkrut,
Japan Airlines (JAL) sempat menguji coba biofuel campuran tanaman
camelina (sebangsa rerumputan), algae, dan jarak pada salah satu mesin
Boeing 747 akhir Januari 2008.
Seluruh
pengujian ini sama-sama mendapatkan hasil yang baik, emisi polusi
rendah, tanpa perlu modifikasi apapun dengan performa mesin tidak
berpengaruh. Uji coba memang belum memakai 100% biofuel tapi hanya 50-50
dengan campuran avtur. Tapi ini membuktikan kepraktisan. Sebuah pesawat
yang terbang menggunakan avtur tidak perlu repot membuang/menguras
tangki bahan bakarnya jika bandara tujuan hanya menyediakan biofuel atau
sebaliknya.
Industri Penerbangan Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia
? Meskipun Pertamina bekerja sama dengan swasta telah membuat proyek
pembuatan bahan bakar alternatif seperti pengolahan etanol menjadi
DimethylEter (DME), hanya ditujukan sebagai bahan bakar kendaraan dan
kebutuhan rumah tangga. Belum ada satupun realisasi buat sektor industri
penerbangan.
Padahal
kebutuhan bahan bakar di sektor transportasi udara sangat besar seiring
dengan peningkatan pemakai jasa udara baik penerbangan domestik maupun
internasional. Angka dari INACA (Indonesia National Air Carrier)
menunjukan perkiraan peningkatan jumlah penumpang sebesar 9% tahun ini.
Tahun
lalu saja anggota INACA mengangkut total 37.5 juta penumpang. Angka
dari Dephub tidak terlalu jauh berbeda, kenaikan 10% dengan rincian 43.5
juta penumpang domestik dan 4.95 juta penumpang internasional tahun
2009. Situasi baru saja pulih dari krisis minyak tapi ini bisa saja
kembali goncang jika krisis kembali terjadi. Pertamina lewat Pertamina
Aviation seyogyanya bisa memulai aplikasi bahan bakar alternatif buat
industri penerbangan nasional.
Sebenarnya apa yang kurang dari Indonesia
? Kaya akan gas alam dan tanah yang subur buat pertanian penghasil
biofuel. Pertamina bisa mencontoh Shell dengan membuat GTL yang disuling
pada kilang Shell di Malaysia. Diakui pembuatan GTL dengan metode
Fischer Tropsceh bukan sesuatu yang mudah dan butuh investasi besar tapi
ini bisa dimulai dengan kerjasama saling menguntungkan antar dua
perusahaan.
Kerjasama antar perusahaan dalam negeri juga perlu dilakukan seperti Pertamina Aviation dengan maskapai milik pemerintah Garuda Indonesia
misalnya. Maskapai Virgin Atlantic patut dijadikan contoh pula bahwa
maskapai bisa menjadi pionir dalam pengembangan bahan bakar alternatif.
Pemilik
dan pendiri Virgin Atlantic, Sir Richard Branson bahkan mendirikan
perusahaan baru yaitu Virgin Fuel, membuat bahan bakar dari minyak
babassu, tanaman masih berfamili kelapa yang banyak tumbuh di Brazil.
Walaupun hanya berkomposisi 20% dengan dicampur avtur tapi sukses pada
uji coba penerbangan Boeing 747 miliknya awal tahun 2008.
Jangan
lupa melibatkan pihak kampus. IPB sebagai kampus yang berbasis
pertanian dapat meriset lebih lanjut pemanfaatan tanaman lain, tidak
sebatas jarak dan minyak kelapa karena setiap tanaman secara garis besar
dapat menghasilkan hidrokarbon. Tidak ketinggalan peran kampus berbasis
teknologi seperti ITB, ITS, dan perusahaan berbasis teknologi
penerbangan seperti PT. Dirgantara Indonesia yang bisa membuat alat pengolah biofuel sekaligus membantu kelayakan penerapan bahan bakar alternatif buat pesawat terbang.
Bayangkan
peran serta yang terjalin jika dapat terwujud. Betapa keuntungan akan
melibatkan industri yang lain mulai dari pertanian, penyulingan,
distribusi, transportasi, dan banyak lainnya. Bahkan belum terwujud
sekalipun hal ini telah mendapat tentangan. Yang kontra menyatakan
proses produksi bahan bakar alternatif justu lebih merusak lingkungan
hidup. Seperti pembukaan hutan buat ditanami tanaman biofuel.
Yang
pro justru membela bahwa ini baru tahap awal buat pengembangan
selanjutnya menjadi lebih baik. Alga misalnya bisa menjadi pengembangan
lebih lanjut karena tidak tergantung kepada tanah pertanian melainkan
bisa memanfaatkan perairan.
Kiprah
British Airways (BA) baru-baru ini bisa ditiru dengan memanfaatkan
biomassa yang berasal dari sampah. Menurut rencana, fasilitas pengolahan
biomassa milik BA dan investor asal Amerika, Solena Group akan
menghasilkan 16 juta galon bahan bakar low carbon
dari 500,000 ton limbah sampah organik dan makanan. Belum ada informasi
lebih lanjut karena diperkirakan baru akan diproduksi tahun 2014.
Pengembangan
bahan bakar pengganti avtur masih melalui jalan panjang tapi harus
dimulai segera dan belum terlambat. Seandainya ini dapat terwujud bahan
bakar alternatif dapat menjadi simbol kemandirian bangsa Indonesia
dan membangun bukan hanya sekedar industri penerbangan melainkan sebuah
impian industri penerbangan yang bertumpu dan ramah terhadap lingkungan
sebagai perwujudan dari cita-cita green aviation. (Sudiro Sumbodo, Jakarta, 2010)
Referensi :
- Air & Space, “Fly Green”, September 2007.
- Kontan, “Sebelas Maskapai Siap Terbangi Langit Indonesia”, 18 Februari 2010.
- Suryo Suprojo, Cucuk, makalah seminar PII BKT, “Pengaruh Kenaikan Harga Bahan Bakar Pesawat Udara Terhadap Perkembangan Transportasi Udara Di Indonesia”, Jakarta, 19 Mei 2008.
Internet :
- www.cleantech.com, “British Airways to Power Aircraft From Waste Biomass”, 17 Februari 2010.
- www.earth2tech.com, “Green Aviation: It’s All About Biofuels, But Get Ready to Wait”, 8 September 2009.
- www.iata.org, “Fact Sheet : Alternative Fuels”, Februari 2010.
- www.pertamina.com, “DimethylEter Sebagai Bahan Bakar Alternatif”, 2009.
- www.wikipedia.org, “Aviation Bio Fuel”, 19 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar